Banyuwangi – Detik dinamika.com // Kebijakan pendidikan di negeri ini kerap memunculkan paradoks yang membingungkan. Di satu sisi, terdengar dengan lantang mengumandangkan jargon “sekolah gratis” bagi siswa SD dan SMP negeri. Namun, di sisi lain, setiap tahun ajaran baru selalu muncul istilah jalur afirmasi bagi siswa tidak mampu, lengkap dengan mekanisme verifikasi, kuota terbatas, dan syarat administratif yang tak sederhana.
Di titik inilah saya muncul pertanyaan: Jika sekolah memang benar-benar gratis, mengapa harus ada jalur afirmasi untuk siswa miskin? Bukankah gratis seharusnya berlaku untuk semua tanpa kecuali, sehingga tak perlu lagi dikotak-kotakkan dengan istilah afirmasi?
Realitas di lapangan menunjukkan, istilah gratis sering kali hanya sebatas pembebasan SPP. Biaya lain seperti seragam, LKS, iuran komite, bahkan kontribusi kegiatan sekolah masih harus ditanggung wali murid. Celah inilah yang membuat “gratis” menjadi relatif, dan pada akhirnya siswa dari keluarga miskin tetap terpinggirkan.
Mekanisme jalur afirmasi memang dimaksudkan sebagai bentuk keadilan—memberi akses lebih luas bagi siswa tidak mampu. Namun, jika sekolah sudah benar-benar gratis dan seluruh kebutuhan dasar pendidikan ditanggung negara, bukankah jalur afirmasi menjadi tidak relevan lagi? Justru keberadaan jalur afirmasi memperlihatkan bahwa konsep gratis selama ini hanyalah retorika, bukan jaminan nyata.
Kebijakan yang tumpang tindih ini bukan hanya membingungkan orang tua murid, tetapi juga mempertegas inkonsistensi negara dalam menjalankan amanat UUD 1945 Pasal 31: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.”
Sudah saatnya pemerintah menegaskan, apakah pendidikan dasar itu betul-betul gratis bagi semua, ataukah hanya sebagian dengan seleksi lewat jalur afirmasi? Tanpa kejelasan, jargon “sekolah gratis” hanya akan menjadi slogan kosong, sementara siswa miskin tetap harus berjuang membuktikan kemiskinannya demi meraih hak dasar mereka: pendidikan.
Opini ditulis oleh Ari Bagus Pranata, Pemerhati pendidikan