Banyuwangi – Detik dinamika.com // Salah satu ciri khas dari pesta demokrasi di negeri Konoha adalah hadirnya janji-janji manis yang kerap disampaikan para calon pemimpin kepada rakyat. Janji itu disusun rapi, dibungkus kata-kata penuh harapan, dan disuarakan dengan penuh keyakinan. Rakyat pun percaya, karena di setiap kata terselip mimpi tentang kehidupan yang lebih baik. Namun, setelah kursi kekuasaan didapat, tidak sedikit pemimpin yang perlahan mulai lupa pada janji-janji tersebut.
Di awal masa kampanye, rakyat disuguhi rangkaian janji manis yang terangkum dalam visi dan misi kepemimpinan:
Visi:
Terwujudnya daerah yang maju, sejahtera, dan berkah untuk semua.
Misi:
- Mewujudkan kehidupan sosial, budaya, dan keagamaan yang harmonis.
- Memperkuat sektor pertanian, UMKM, pariwisata, dan ekonomi.
- Memantapkan penciptaan SDM unggul.
- Mempercepat pembangunan.
- Memantapkan transformasi reformasi birokrasi.
Kalimat-kalimat ini sempat membakar semangat masyarakat, seakan masa depan cerah tinggal menunggu waktu. Namun, seiring perjalanan, sebagian besar janji tersebut mulai memudar, hanya tertulis indah di dokumen visi-misi tanpa jejak berarti di lapangan.
Apa yang terjadi saat ini, rakyat dibingungkan terkait adanya isu-isu pajak PBB-P2 tarif naik melonjak hingga 200%, apakah itu bisa rakyat sejahtera?
Orang tua pusing membiaya anak-anaknya sekolah di bangku SD hingga SMP, Apakah tidak ada anggaran untuk Dana Biaya Operasional Sekolah Daerah (BOSDa)?
Harmoni sosial dan budaya seringkali hanya jadi slogan, sementara gesekan di akar rumput masih terlihat jelas. Sektor pertanian yang disebut sebagai tulang punggung justru kerap dikeluhkan petani karena harga tak menentu dan minimnya perlindungan. UMKM masih terseok mencari akses modal, sementara pariwisata lebih sering dipoles di permukaan tanpa menyentuh kesejahteraan warga sekitar.
Janji penciptaan SDM unggul pun sering berhenti pada seminar dan pelatihan seremonial, tanpa diikuti kebijakan berkelanjutan. Pembangunan yang katanya dipercepat, malah sebagian terkesan asal-asalan dan cepat rusak. Sedangkan reformasi birokrasi, yang diharapkan memutus rantai keruwetan pelayanan, masih sering diwarnai praktik berbelit dan dugaan pungutan.
Inilah wajah pahit dari janji politik yang tidak ditepati: rakyat dibiarkan menunggu di tepi jalan, sementara pemimpinnya sibuk mengatur kepentingan di ruang tertutup.
Visi-misi sejatinya adalah kontrak moral, bukan sekadar alat kampanye. Saat pemimpin lupa pada visi dan misinya sendiri, sesungguhnya ia sedang melupakan rakyat yang mempercayainya. Daerah yang maju, sejahtera, dan berkah untuk semua hanya akan menjadi kata-kata kosong jika tidak diwujudkan dengan keberanian, integritas, dan bukti nyata.
Ditulis oleh: Ari Bagus Pranata