Banyuwangi – Detik dinamika.com // Isu kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Banyuwangi memicu perdebatan publik. Hal ini bermula dari pengesahan perubahan Perda Banyuwangi Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang telah diundangkan dan dilaporkan ke pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan draf perubahan yang beredar di publik, dalam ketentuan pasal 9 ayat (1) diubah, Berbunyi ayat (1) Besarnya tarif PB8-P2 ditetapkan sebesar 0,3% (nol koma tiga persen). Hal ini menimbulkan perbedaan persepsi
Sebelumnya, tarif bertingkat diberlakukan: 0,1 persen untuk NJOP hingga Rp.1 miliar, 0,2 persen untuk Rp.1–5 miliar, dan 0,3 persen untuk di atas Rp.5 miliar. Perbedaan informasi antara dokumen yang dibaca publik dan pernyataan pejabat inilah yang memicu polemik.
Pj. Sekda Banyuwangi, Guntur Priambodo, menegaskan tidak ada proyeksi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui kenaikan tarif PBB-P2 pada tahun 2026. Menurutnya, penerapan single tarif sebesar 0,3 persen adalah penyesuaian terhadap evaluasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melalui Surat Edaran Nomor 900.1.13.1/3142/Keuda tertanggal 25 Juli 2025. SE tersebut meminta daerah mengubah skema tarif PBB-P2 dari multi tarif menjadi single tarif.
Meski begitu, kepala daerah tetap memiliki kewenangan untuk menyesuaikan tarif berdasarkan kemampuan ekonomi masyarakat, yang nantinya akan diatur melalui Peraturan Bupati (Perbup).
Secara hukum, kebijakan ini berlandaskan pada dua payung utama:
-UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) – mengatur perubahan mendasar di sektor pajak nasional.
-UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD) – memberi kewenangan kepada daerah menetapkan tarif pajak daerah dalam batas maksimal yang diatur undang-undang.
Dari sisi fiskal, tarif tunggal berpotensi signifikan meningkatkan PAD. Namun, jika kenaikan tarif diiringi penyesuaian NJOP yang terlalu tinggi, beban bagi masyarakat berpenghasilan rendah bisa berat, risiko tunggakan pajak meningkat, dan resistensi (perlawanan) sosial menguat. Bahwa, kepatuhan pajak, erat kaitannya dengan persepsi keadilan. Ketika warga merasa beban pajak meningkat tanpa perbaikan layanan publik, penolakan akan menjadi keniscayaan.
Isu lain yang kerap menimbulkan persepsi negatif adalah insentif bagi pejabat daerah. Berdasarkan Pasal 94 UU HKPD, pejabat yang melaksanakan pemungutan pajak dapat menerima insentif maksimal 5 persen dari realisasi penerimaan, diatur melalui Perbup dan dibukukan dalam APBD. Insentif ini bukan “bagi hasil” untuk memperkaya pribadi, melainkan tunjangan kinerja resmi bagi petugas pemungut pajak. Penyaluran di luar mekanisme ini dapat masuk kategori gratifikasi atau penyalahgunaan wewenang.
Polemik pajak adalah wajar dalam demokrasi, namun mestinya dikelola melalui ruang dialog yang jujur dan transparan. Pemerintah wajib menyosialisasikan kebijakan secara terbuka, sedangkan masyarakat perlu menyampaikan aspirasi secara tertib agar stabilitas sosial Banyuwangi tetap terjaga. Karena pada akhirnya, pajak bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan cerminan kepercayaan publik pada pemerintahnya, Pungkasnya,”