Banyuwangi – Detik dinamika.com // Tragedi tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya pada 2 Juli 2025 harus menjadi momentum evaluasi serius bagi pemerintah, khususnya Kementerian PUPR, Kementerian Perhubungan, serta pemerintah Provinsi Bali dan Jawa Timur. Kecelakaan laut di Selat Bali seolah menjadi agenda rutin setiap tiga tahunan. Ironisnya, pola kejadiannya pun hampir sama: terjadi pada musim gelombang tinggi, antara Mei hingga Juli, bertepatan dengan puncak libur sekolah.
Kita masih ingat tenggelamnya KMP Rafelia II pada 2016, terbakarnya KMP Labitra Adinda pada 17 Mei 2018, tenggelamnya KMP Yunice pada Juni 2021, dan kini KMP Tunu Pratama Jaya dengan korban puluhan orang, beberapa di antaranya masih belum ditemukan. Ini bukan lagi sekadar musibah, tetapi sinyal kuat bahwa transportasi penyeberangan di Selat Bali perlu solusi permanen dan revolusioner.
Maka, sudah saatnya pemerintah memikirkan pembangunan Jembatan Layang Penghubung Selat Bali yang menghubungkan Ketapang dan Gilimanuk, dengan titik terdekat di Watu Dodol yang hanya berjarak sekitar 2,3 km. Investasi yang dibutuhkan diperkirakan 1,5 miliar USD atau sekitar 24 triliun rupiah. Nilai ini sepadan dengan manfaat jangka panjang: keselamatan jiwa, efisiensi logistik, kelancaran arus wisatawan, dan percepatan pertumbuhan ekonomi regional.
Apalagi, potensi lalu lintasnya sudah jelas: sekitar 3 juta kendaraan menyeberang Selat Bali setiap tahun. Banyak pihak swasta, baik dalam maupun luar negeri, siap terlibat membiayai proyek ini. Bahkan, negara bisa sepenuhnya mengambil alih pembiayaan melalui skema pendanaan strategis seperti Danantara agar aset ini dikelola sepenuhnya untuk kepentingan rakyat.
Cukuplah tragedi demi tragedi di Selat Bali menjadi alarm bagi kita semua. Bangun jembatan layang penghubung Ketapang-Bali sekarang juga — demi keselamatan, kemajuan, dan masa depan Indonesia.
Mohamad Amrullah, S.H., M.Hum.